Wednesday, 20 May 2015

Pancasila: Sumber dari Segala Sumber Hukum

         Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4, “… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kalimat tersebut menyatakan bahwa UUD 1945 berdasarkan atas Pancasila. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber hukum yang berada di bawah UUD 1945 juga berdasarkan atas Pancasila, demikianlah maksud dari Pancasila  sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

          Dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur norma hukum berjenjang atau hierarki atau urutan peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Maka jika ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila, dapat dilakukan judicial riview oleh badan hukum (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) untuk mengetahui peraturan perundang-undangan itu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.

Tujuan Mempelajari Pancasila

Mengerti Pancasila yang Benar
           Pancasila yang benar adalah Pancasila yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuris-konstitusional dan objektif-ilmiah. Secara yuris-konstitusional, Pancasila merupakan Dasar Negara. Sehingga tidak setiap orang mampu memberikan tafsiran mengenai isi dari Pancasila secara benar. Dengan mempelajari Pancasila dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila, maka kita akan mampu mengetahui secara benar apa yang terkandung di dalam Pancasila. Secara objektif-ilmiah, Pancasila merupakan suatu paham filsafat, philosophical way of thinking atau philosophical system yang dalam penguraiannya harus logis dan dapat diterima oleh akal sehat.

Menghayati dan Mengamalkan Pancasila
          Setelah mempelajari Pancasila yang benar dengan mengikuti mata kuliah Pendidikan Pancasila, maka kita harus menghayati setiap isi dari Pancasila sehingga kita mampu mengetahui apa yang menjadi tujuan dibentuknya Pancasila yang kemudian harus kita amalkan atau manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan orang lain karena bagaimanapun juga Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Mengamankan Pancasila
     Pada umumnya, seseorang yang telah mengetahui sesuatu dengan sebenar-benarnya memiliki kecenderungan untuk memelihara dan melindungi kebenarannya itu supaya tidak dirubah menjadi sesuatu yang belum tentu benar. Sehingga setelah mengetahui Pancasila yang benar, kita harus melindunginya agar tidak dirubah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan cara kita melindungi Pancasila yang sudah kita ketahui kebenarannya, maka kita dapat memanfaatkannya dalam kehidupan keseharian kita selama mungkin.

Contoh :

            Dalam usaha PKI untuk menentang ideologi Pancasila, PKI menerima Pancasila hanya untuk digunakan sebagai taktik dan tidak sebagai prinsip. D. N. Aidit, seorang pimpinan PKI pernah mengatakan bahwa Pancasila hanya alat pemersatu, oleh sebab itu jika bangsa Indonesia telah bersatu maka Pancasila sudah tidak diperlukan lagi. Hal inilah yang dinamakan dengan penafsiran Pancasila yang tidak benar. Maka untuk menghadapi paham-paham seperti demikian, kita sebagai kaum berpendidikan hendaklah mempelajari Pancasila dengan baik dan benar supaya tidak terjadi kesalahan penafsiran dari Pancasila. Dengan kita mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari secara benar, maka kita tidak akan mudah terpengaruh dengan orang-orang seperti yang tergabung dalam PKI. Karena dengan adanya orang-orang seperti itu, kita harus bisa memeranginya untuk memepertahankan keutuhan NKRI.

Bunga Bank dan Riba

Dalam bahasa Arab, bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata faedah, artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank. Apapun namanya, bunga atau fawaid tetap harus dilihat hakikatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari utang-piutang, senyatanya itu adalah riba.[1]
Ada tiga macam bunga, yaitu bunga flat, bunga efektif, dan bunga anuitas. Bunga flat cenderung digunakan pada kredit konsumen misalnya KPM (Kredit Pemilikan Mobil). Kelebihan dari tingkat bunga flat ialah jika sebelum jangka waktu kredit habis angsuran ingin dilunasi, maka kita hanya menghitung saja berapa sisa pokok hutang yang belum dibayar, sehingga akan terasa bahwa kredit yang kita angsur sebanding dengan sisa pokok hutang yang ada. Namun, hal ini juga menjadi kelemahan karena bank akan memberikan penalti apabila terjadi pelunasan di awal, maka berpikirlah lagi untuk mengambil kredit dengan tingkat bunga flat ini. Berbeda dengan bunga flat, penentuan bunga efektif didasarkan pada saldo pokok hutang bulan sebelumnya, sehingga nilai bunga pun semakin kecil seiring dengan saldo pokok hutang yang semakin kecil. Biasanya digunakan pada produk kredit jangka panjang, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Kelebihan dari tingkat bunga ini ialah penetapan bunga disesuaikan dengan saldo pokok hutang bulan sebelumnya, sehingga semakin lama semakin kecil nilainya dan bagi pihak kreditur tidak akan memberikan penalti karena di awal angsuran pihak kreditur telah mendapatkan bunga yang besar. Bunga anuitas prinsipnya sama seperti bunga efektif namun yang berbeda ialah angsuran bulanan yang akan tetap sama setiap bulannya.[2]
Islam telah melarang segala bentuk riba, karenanya riba harus dihapuskan dalam ekonomi Islam. Pelanggaran riba secara tegas ini dapat dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Arti riba secara bahasa adalah ziadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak, dan bertambah, akan tetapi tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikategorikan sebagai riba. Secara fiqh, riba diartikan sebagai setiap tambahan dari harta pokok yang bukan merupakan kompensasi, hasil usaha atau hadiah. Namun, pengertian riba secara teknis adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, baik dalam utang-piutang maupun jual beli. Batil dalam hal ini adalah perbuatan ketidakadilan (dzalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil akan menimbulkan kedzaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian, esensi dari pelanggaran riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi.
Dengan pengertian di atas, maka penghapusan riba ekonomi Islam dapat dimaknai secara sempit maupun secara luas. Secara sempit, penghapusan riba berarti penghapusan riba yang terjadi dalam utang-piutang maupun jual-beli. Jadi, dalam konteks ini bunga yang merupakan riba dalam utang-piutang secara mutlak harus dihapuskan dari perekonomian. Demikian pula berbagai bentuk transaksi jual-beli yang menimbulkan riba, misalnya transaksi-transaksi yang spekulatif tanpa pengukuran (valuation) yang jelas juga harus dilarang. Secara luas penghapusan riba dapat dimaknai sebagai penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kedzaliman atau ketidakadilan. Jika kedzaliman harus dihapus, maka implikasinya keadilan harus ditegakkan. Keduanya merupakan sebuah kausalitas yang tegas dan jelas.[3]
Ada 4 macam riba, yaitu riba nasiah, riba fadhl, riba qard, dan riba jahiliyah.[4] Riba nasiah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan,[5] yaitu apabila kreditor meminjamkan uangnya pada batas waktu tertentu dengan memungut bunga sebagai tambahan kepada modal (uang) pokoknya. Jika debitur belum mampu membayar utangnya pada saat jatuh tempo, maka kreditor bersedia memberikan tenggang waktu pembayaran kepada debitur dengan syarat ia bersedia menambah pembayaran di atas jumlah pokok yang dipinjamnya tadi selanjutnya jumlah utang akan bertambah setiap kali tenggang waktu diperpanjang.[6] Riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,[7] seperti penukaran emas murni dengan emas yang sudah bercampur, beras kualitas baik dengan beras kualitas buruk, dan sebagainya.[8] Riba qard adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang. Riba jahiliyah adalah apabila ada utang, maka pembayaran yang dilakukan melebihi dari pokoknya karena debitur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan.[9]
      Pendapat Syekh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Syariat Islam pada Fakultas Hukum di Universitas Cairo, “Hukum mengharamkan riba itu terdapat dalam Al Qur’an dan dalam sunnah Rasul. Ulama-ulama besar dari Salafus Saleh pun telah sekata mengharamkannya. Begitu pula ulama mujtahidin yang datang di belakang mereka. Abad berganti abad ijma’ tersebut berlaku seperti biasa, segenap hati orang yang mukmin rela dengan tenang menerima hukum riba itu haram; yang jengkel dan rebut hanyalah orang yang berhati keras. Yang belakangan ini terkadang dengan cara berterus terang, terkadang dengan cara mencari-cari helat, melanggar hukum tersebut.”[10] Islam telah melarang bunga dengan alasan di antaranya:
a.      Seluruh teori bunga yang menjadi alasan adanya bunga tersebut di mata hukum Islam menjadi mudlarat dan cenderung membahayakan sistem kehidupan yang ada dalam suatu negara. Hal ini salah satunya dikarenakan sikap materialistisme yang menimbulkan pemahaman imbalan yang dikaitkan dengan uang yang dipinjamkan menjadi tidak tepat diterapkan, karena uang telah dipersamakan dengan barang yang layak mendapat uang sewa atau imbalan.
b.      Teori bunga akan menghasilkan ketidakadilan khususnya bagi pihak yang menerima pinjaman, bahwa telah muncul kewajiban yang pasti dalam ketikpastian usahanya.
c.       Konsep bunga telah membawa ketidakadilan tidak saja pada skala mikro tapi juga skala yang lebih besar, yaitu nasional bahkan mungkin skala global. Rakyat yang tidak berdosa telah menanggung beban atas dampak negatif dari sistem bunga yang telah diberlakukan. Utang yang membengkak karena bunga akhirnya harus dihapuskan dan menjadi beban negara/rakyat. Bank yang telah di likuidasi yang telah merugi karena negative spread maupun kredit macet pada kenyataannya juga telah membebani negara yang pada akhirnya menjadi beban rakyat.[11]
Telah dinyatakan secara tegas tentang pelarangan riba di dalam Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa ayat yang menyatakan pelarangan terhadap riba:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah ayat 275)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah ayat 278)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandankan (pahalanya).” (QS. Ar Rum ayat 39)
Sistem riba tentu saja memberi keuntungan kepada pihak nasabah bank, karena hanya dengan menabung saja para nasabah akan mendapat tambahan uang setiap bulannya. Tetapi keuntungan yang didapatkan dari melakukan kedzaliman tentu tidak dibenarkan. Bunga yang diberikan kepada para nasabah adalah hasil dari penarikan uang bunga oleh bank kepada pada debiturnya. Dengan kata lain, bunga bank yang diterima nasabah adalah hasil dari melakukan kedzaliman kepada debitur bank.







[1] Muhammad Abduh Tuasikal, Riba Pada Bunga Bank, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-pada-bunga-bank.html, diakses pada 14 Maret 2015 pukul 17.03 WIB.
[2] Anonim, Mengenal Macam-Macam Bunga Perbankan, http://www.ciputraentrepreneurship.com/artikel-pendidikan/mengenal-macam-macam-bunga-perbankan, diakses pada 14 Maret 2015 pukul 14.57 WIB.
[3] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 70-71.
[4] Fuad Mohd Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, & Assuransi, (Bandung: PT Alma’arif, 1983), hlm. 84.
[5] Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 13.
[6] Ibid., hlm. 17.
[7] Ibid., hlm. 13.
[8] Ibid., hlm. 18.
[9] Renny Supriyatni Bachro, Sistem Bagi Hasil Dengan Mekanisme Pembagian Untung Dan Rugi, (Bandung: Unpad Press, 2010), hlm. 41.
[10] Fuad Mohd Fachruddin, Op.cit., hlm. 80.
[11] Renny Supriyatni Bachro, Op.cit., hlm. 42-44.

Sistem Religi dan Kebudayaan

A.      SISTEM RELIGI

Koentjaraningrat, sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan.[1] Istilah religi digunakan sebagai terjemahan dari kata religion. Dengan sengaja menghindari kata agama karena istilah ini bagi banyak orang Indonesia sudah mempunyai arti tertentu seperti Agama Islam atau Nasrani misalnya.[2]
Sistem religi mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius.[3] Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa sistem religi terdiri dari sistem kepercayaan, kesusasteraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.[4]
Menurut Koentjaraningrat, religi adalah bagian dari kebudayaan karena mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu:[5]
1.        emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2.        sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3.        sistem upacara religius yang bertujuanmencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib; dan
4.        kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.
Agama atau religi menurut Haviland dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya Untuk mengatasi keterbatasan itu orang berpaling kepada kekuatan supernatural.
Sementara itu, Anthony F. C. Wallace secara antropologis mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Menurut Haviland pengertian ini mengandung suatu pengakuan bahwa kalau tidak dapat mengatasi masalah serius yang menimbulkan kegelisahan mereka, maka manusia berusaha mengatasinya dengan kekuatan supernatural. Maka dari itu dilakukan upacara keagamaan, yang oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama (religion in action).[6]

B.       SISTEM RELIGI DALAM WUJUD KEBUDAYAAN

Kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu wujud ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Wujud ideal bersifat abstrak yang tidak bisa diraba atau difoto. Lokasinya ada di alam kepala-kepala, atau dengan kata lain perkataan, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik yang berupa seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.[7]



[1] Syarif Moeis, “Religi Sebagai Salah Satu Identitas Budaya”, <http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf>, [04/05/2015]
[2] Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binatjipta, 1967, hlm. 173-174.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hlm. 165.
[5] Syarif Moeis, Loc.Cit.
[7] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia, 1974, hlm 15-16.

Vocabulary Unit 1

Adjudicate
To decide a matter by legal means; for example, court, mediation, arbitration.
Albeit
Although; even though.
Allegation
A statement or charge made in a pleading which one intends to prove by legal evidence.
Bankruptcy
Legal status where court divides person’s assets, if any, among creditors and discharges debts.
Case law
Law based on court decisions.
Citation
A reference to laws or other cases concerning law applicable in current case.
Common law
The major source of law in the United States; based on old English law.
Constitutional law
Law established by either federal or state constitutions as interpreted by appropriate federal or state courts.
Counsel
Attorney at law.
Defendant
The party being sued or tried in either civil or criminal action.
Execute
To sign a legal document as required by the document; for example, before a notary public.
Feasance
The proper performance of an act (rarely used).
Forthwith
Immediately, soon.
Heretofore
Previously; up to this time.
Hereunto
To this matter or document.
In propria persona
Latin; refers to one who represents himself without the assistance of a attorney.
Jurisprudence
The science or philosophy of law.
Jurist
A person who has a substantial knowledge of law and who has written extensively on legal matters; for example, judges, professors, and so on.
Law
Rules of conduct applicable to all people and enforceable in court.
Legal
Authorized by law or not forbidden by law.
Malfeasance
Misconduct; the performance of an illegal act, especially by government official; for example, the Chief of Police.
Mandatory
Required, frequently by law.
Misfeasance
Improperly doing a legal act.
Nonfeasance
Failure to perform a duty.
Per se
Latin, meaning “in Itself or by itself.”
Plaintiff
The party who initiates an action at law (lawsuit).
Precedent
A judicial decision that is used as a guide in subsequent, similar cases.
Statutory law
Law established by Congress or state legislatures.
The bar
When capitalized, refers to the legal profession as a whole.
The court
When capitalized, refers to the judge.
Thereby
By it; as a result of it.
Therefor
For the thing previously mentioned; for it.
Therefore
For that reason.
Tort
A civil wrong (other than failure to fulfill a contract) that requires the payment of money damages as compensation for injury to person or property.
Tortfeasor
One who commits a tortuous (wrong or devious) activity; for example, auto accident, assault.
Whereas
Since; in view of the fact that.


Source: Legal Terminology and Transcription by Marilynn K. Wallis

Google AdSense

            Google AdSense merupakan salah satu produk dari Google. Untuk pertama kalinya saya tertarik untuk bergabung dengan Google AdSense adalah saat dosen saya memberikan masukan di sela-sela perkuliahannya untuk bisa mendapatkan penghasilan tanpa mengorbankan banyak waktu dan tenaga. Kita hanya perlu memiliki sebuah blog atau website dan mengizinkan iklan dari Google ditempatkan pada blog yang kita miliki. Tapi ternyata tidak semudah yang saya bayangkan untuk bergabung dengan Google AdSense. Tim Google AdSense memiliki berbagai kriteria bagi blogger yang ingin bergabung dengan mereka. Sudah beberapa kali saya mencoba untuk bergabung dengan Google AdSense, tetapi tetap saja ditolak. Dalam penolakkannya, tim Google AdSense mengirimkan sebuah email kepada saya yang berisi alasan penolakan mereka, yaitu:
Konten tidak memadai: Guna mendapatkan persetujuan untuk AdSense dan menampilkan iklan yang relevan di situs Anda, laman Anda harus berisi teks yang memadai agar pakar kami dapat melakukan peninjauan dan perayap kami dapat menentukan tema laman Anda.
Untuk menyelesaikan masalah ini, harap pelajari saran berikut:
  • Pastikan laman Anda berisi teks yang memadai - situs web yang kontennya sebagian besar adalah gambar, video, atau animasi Flash tidak akan disetujui.
  • Konten Anda harus berisi kalimat dan paragraf lengkap, bukan sekadar judul.
  • Pastikan situs web Anda telah sepenuhnya rampung dan diluncurkan sebelum Anda mengajukan permohonan untuk AdSense - jangan ajukan permohonan ketika situs Anda masih dalam versi beta atau tahap "sedang dibuat" atau hanya terdiri dari kerangka situs web.
  • Tempatkan kode iklan di laman aktif situs web Anda. Tidak harus berupa laman utama, namun laman percobaan yang kosong kecuali untuk kode iklan AdSense tidak akan disetujui.
  • Sediakan sistem navigasi yang jelas untuk para pengunjung agar mudah menemukan semua bagian dan laman dalam situs web Anda.
  • Jika Anda ingin memonetisasi video YouTube, ajukan permohonan untuk program monetisasi YouTube. Perhatikan bahwa blog dan situs web yang hanya berisi video tidak akan disetujui.

Selamat mencoba dan semoga berhasil ..

Tuesday, 12 May 2015

Unsur-Unsur Negara

   Negara adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup didalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Unsur-unsur negara terdiri dari 3 unsur konstruktif dan 1 unsur deklaratif.[1] Terdapat beberapa pandangan mengenai unsur-unsur pembentuk negara, dimana unsur-unsur tersebut sangat dibutuhkan sehingga organinasi kemasyarakatan dapat dikatakan sebagai suatu negara. Berikut adalah unsur-unsur pembentuk negara dari beberapa sudut pandang:
a.      Unsur Negara Secara Klasik/Tradisional
1.      Wilayah tertentu
Wilayah  tertentu ialah batas wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku. Kekuasaan suatu negara tidak berlaku di luar batas wilayahnya karena dapat menimbulkan sengketa internasional. Pengecualian atas hal ini adalah daerah eksteritorial, artinya kekuasaan negara  dapat berlaku di luar daerah kekuasaannya. Batas daerah atau batas wilayah suatu negara ditentukan melalui perjanjian dengan negara-negara lain. Batas negara tersebut tidak hanya meliputi daratan, tetapi juga wilayah lautan, dan wilayah udara.
Batas laut teritorial ditetapkan oleh masing-masing negara yang berbatasan. Umumnya lebar laut teritorial adalah 3 mil, kecuali Norwegia, Swedia, dan Spanyol menetapkan 4 mil. Indonesia menetapkan 12 mil. Selain itu, kepada negara-negara pantai diberikan hak eksklusif atas sumber daya ekonomis dan sumber daya alas laut dalam, selebar 200 mil dari pantai (konvensi PBB tentang Hukum laut tanggal 7 Oktober 1982, artikel 82) yang disebut dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).[2]
2.      Rakyat
Rakyat adalah sekumpulan orang  yang hidup di suatu tempat. Istilah rumpun (ras), bangsa (natie) dan suku, erat  pengertiannya dengan rakyat. Rumpun (ras) adalah  sekumpulan orang yang mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama (warna kulit, rambut, bentuk muka, bentuk badan, dll). Bangsa (natie)  adalah rakyat yang sudah memiliki kesadaran untuk membentuk negara. Jean Jacques Rousseau membagi pengertian bangsa ke dalam dua macam, yaitu citoyen yang merupakan golongan atau bangsa yang berstatus aktif dan suyet yang merupakan bangsa yang tunduk  pada kekuasaan  di atasnya atau bangsa yang bersifat pasif. Sedangkan suku, yaitu  orang yang memiliki kesamaan dalam kebudayaan.
3.      Pemerintahan yang berdaulat
Fungsi dari pemerintah disebut dengan pemerintahan. Fungsi pemerintahan dalam arti luas meliputi tiga bidang, yaitu eksekutif sebagai pelaksana  pemerintahan menurut undang-undang, legislatif sebagai pembuat undang-undang, dan yudikatif sebagai badan peradilan  menurut undang-undang.[3]
b.      Unsur Negara Secara Yuridis
Berdasarkan pandangan J. H. A. Logemann, seorang politikus Belanda, unsur negara secara yuridis adalah sebagai berikut:
1.      Wilayah hukum (gebiedsleer)
Yakni meliputi darat, laut, udara, serta orang dan batas wewenangnya.
2.      Subjek hukum (persoonsleer)
Yakni pemerintah yang berdaulat.

3.      Hubungan hukum (de leer van de rechtsbetrekking)
Yakni hubungan hukum antara penguasa dengan rakyat, termasuk hubungan hukum ke luar dengan dunia internasional.[4]
c.       Unsur Negara Secara Sosiologis
Paham ini dikemukakan oleh Rudolf Kjellin yang melanjutkan ajaran Ratzel dalam bukunya, Der Staat als Lebensform. Menurut beliau, unsur-unsur negara adalah:
1.      segi sosial: rakyat, ekonomis, dan kultur;
2.      segi alam: wilayah dan bangsa.[5]
d.      Unsur Negara Menurut Konsep Hukum Internasional
Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, negara harus mempunyai empat unsure konsititutif, yaitu:
1.      harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga Negara) atau bangsa (staatvolk);
2.      harus ada wilayah atau lingkungan kekuasaan;
3.      harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat) atau pemerintahan yang berdaulat;
4.      kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lain.[6]
Menurut Lessa Francis Lawrence Oppenheim dan Hersch Lauterpacht, yang merupakan unsur negara berdasar pandangan hukum internasional adalah sebagai berikut:
a.      rakyat;
b.      daerah;
c.       pemerintah;
d.      kemerdekaan;
e.      pengakuan dari negara lain; dan
f.        kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan pemerintahan itu, pemerintahan tidak serta merta sama dengan pemerintah. Pemerintah adalah suatu badan pengurus atau badan pimpinan yang mengurus atau memimpin negara. Pemerintah dapat diartikan secara luas dan sempit. Pemerintah dalam arti luas adalah keseluruhan dari  badan pengurus negara dengan seluruh organisasi, bagian-bagiannya dan pejabat-pejabatnya yang menjalankan tugas negara dari pusat sampai ke pelosok daerah. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah suatu badan pimpinan yang terdiri dari seseorang atau beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan  dalam pelaksanaan tugas negara. Dengan kata lain,  pemerintah dalam arti sempit adalah kepala negara dengan para menteri (kabinet).[7]
Dalam sudut pandang hukum internasional, pengakuan negara lain sangat penting bagi negara beru karena adanya akibat-akibat hukum, diantaranya:
1.      negara baru dapat diterima secara penuh sebagai anggota dalam pergaulan antar bangsa;
2.      negara baru dapat melakukan hubungan internasional atau dapat melaksanakan hubungan kerja sama dengan negara lain; dan
3.      negara baru dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional.
Pengakuan dari negara lain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengakuan de facto (fakta) dan pengakuan de jure (hukum). Pengakuan de facto adalah pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara lain yang telah memenuhi unsur-unsur negaranya. Sedangkan pengakuan de jure adalah pengakuan terhadap suatu negara secara resmi berdasarkan hukum dengan segala konsekuensi atau pengakuan secara internasional.
Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dianggap sebagai unsur negara karena jika suatu negara mampu melakukan hubungan dengan negara lain, maka negara itu akan terlihat atau dikenal oleh negara lain. Sehingga negara tersebut akan mempunyai eksistensi sebagai suatu negara yang benar-benar telah berdiri di mata dunia internasional. Berikut adalah beberapa kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain:
-          mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabatnya terhadap negara lain;
-          kemampuan dan kesediaan untuk menaati hukum internasional;
-          keabsahan berdirinya negara itu dalam hukum internasional; dan
-          kemampuan untuk menentukan nasib sendiri negara yang bersangkutan.

PERBEDAAN UNSUR-UNSUR NEGARA
Untuk lebih jelasnya, kami rangkumkan unsur-unsur pembentuk negara yang dilihat dari berbagai sudut pandang ke dalam sebuah tabel. Berikut adalah unsur-unsur pembentuk negara:
Klasik
Yuridis
Sosiologis
Konsep Hukum Internasional
1.      Wilayah tertentu
1.      Wilayah
1.      Rakyat
1.      Rakyat
2.      Rakyat
2.      Rakyat
2.      Ekonomis
2.      Daerah
3.      Pemerintahan yang berdaulat
3.      Pemerintah yang berdaulat
3.      Kultur/budaya
3.      Pemerintah

4.      Hubungan hukum
4.      Wilayah
4.      Kemerdekaan


5.      Bangsa
5.      Pengakuan dari negara lain



6.      Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain

Dilihat dari sudut pandang klasik, unsur-unsur pembentuk negara hanya ada 3, yaitu wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Dalam pandangan ini, unsur-unsur pokok pembentuk negara telah masuk di dalamnya. Dari pandangan yuridis dapat dilihat dengan adanya hubungan hukum yang merupakan hasil dari pengakuan negara lain. Dalam konsep hukum internasional, terdapat unsur-unsur tambahan pembentuk negara, yaitu kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Yang paling berbeda dari sudut pandang lainnya adalah dilihat dari segi sosiologis yang menempatkan ekonomis, kultur/budaya, dan bangsa sebagai unsur pembentuk negara. Dalam sudut pandang klasik, yuridis, dan konsep hukum internasional, bangsa ditempatkan sebagai bagian dari rakyat dan bukannya berdiri sendiri seperti unsur pembentuk negara yang disebutkan dalam pandangan sosiologis.



[1]Moh.Mahfud, DasardanStukturKetatanegaraan Indonesia (edisirevisi), (RinekaCipta, 2001), Bab IV
[2] Padmo Wahjono dan Teuku Amir Hamzah, Diktat Standard Ilmu Negara, (Jakarta: FHUI, 1966), hlm. 19.
[3] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 76.
[4] M. Guntur Hamzah, Ilmu Negara, https://studihukum.wordpress.com/category/08-ilmu-negara, diakses pada 29 Oktober 2014, pukul 13.47.
[5] Abu Daud Busroh, Op.Cit., hlm. 75.
[6]Bukukurikulum 2013 SalikundanLukman Surya Saputra.
[7] Abu Daud Busroh, Op.Cit., hlm. 80.