Wednesday, 20 May 2015

Sistem Religi dan Kebudayaan

A.      SISTEM RELIGI

Koentjaraningrat, sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan.[1] Istilah religi digunakan sebagai terjemahan dari kata religion. Dengan sengaja menghindari kata agama karena istilah ini bagi banyak orang Indonesia sudah mempunyai arti tertentu seperti Agama Islam atau Nasrani misalnya.[2]
Sistem religi mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius.[3] Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa sistem religi terdiri dari sistem kepercayaan, kesusasteraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.[4]
Menurut Koentjaraningrat, religi adalah bagian dari kebudayaan karena mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu:[5]
1.        emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2.        sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3.        sistem upacara religius yang bertujuanmencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib; dan
4.        kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.
Agama atau religi menurut Haviland dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya Untuk mengatasi keterbatasan itu orang berpaling kepada kekuatan supernatural.
Sementara itu, Anthony F. C. Wallace secara antropologis mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Menurut Haviland pengertian ini mengandung suatu pengakuan bahwa kalau tidak dapat mengatasi masalah serius yang menimbulkan kegelisahan mereka, maka manusia berusaha mengatasinya dengan kekuatan supernatural. Maka dari itu dilakukan upacara keagamaan, yang oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama (religion in action).[6]

B.       SISTEM RELIGI DALAM WUJUD KEBUDAYAAN

Kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu wujud ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Wujud ideal bersifat abstrak yang tidak bisa diraba atau difoto. Lokasinya ada di alam kepala-kepala, atau dengan kata lain perkataan, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik yang berupa seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.[7]



[1] Syarif Moeis, “Religi Sebagai Salah Satu Identitas Budaya”, <http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf>, [04/05/2015]
[2] Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binatjipta, 1967, hlm. 173-174.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hlm. 165.
[5] Syarif Moeis, Loc.Cit.
[7] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia, 1974, hlm 15-16.

No comments:

Post a Comment