A.
SISTEM
RELIGI
Koentjaraningrat,
sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan
bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan.[1] Istilah
religi digunakan sebagai terjemahan dari kata religion. Dengan sengaja menghindari kata agama karena istilah ini
bagi banyak orang Indonesia sudah mempunyai arti tertentu seperti Agama Islam
atau Nasrani misalnya.[2]
Sistem
religi mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan,
dewa, roh halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud
berupa upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan selain
itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan
benda-benda religius.[3]
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa sistem religi terdiri dari sistem
kepercayaan, kesusasteraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan,
ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.[4]
Menurut Koentjaraningrat, religi adalah bagian
dari kebudayaan karena mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Emile
Durkheim mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu:[5]
1.
emosi keagamaan,
sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2.
sistem kepercayaan yang
mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan
atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib
(supernatural);
3.
sistem upacara religius
yang bertujuanmencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau
mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib; dan
4.
kelompok-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan
tersebut.
Agama
atau religi menurut Haviland dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola
perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting
yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi
yang diketahuinya Untuk mengatasi keterbatasan itu orang berpaling kepada
kekuatan supernatural.
Sementara
itu, Anthony F. C. Wallace secara antropologis mendefinisikan agama sebagai
seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan
kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk
menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Menurut Haviland
pengertian ini mengandung suatu pengakuan bahwa kalau tidak dapat mengatasi
masalah serius yang menimbulkan kegelisahan mereka, maka manusia berusaha
mengatasinya dengan kekuatan supernatural. Maka dari itu dilakukan upacara
keagamaan, yang oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama (religion in action).[6]
B.
SISTEM RELIGI DALAM WUJUD KEBUDAYAAN
Kebudayaan
mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu wujud ideal, sistem sosial, dan
kebudayaan fisik. Wujud ideal bersifat abstrak yang tidak bisa diraba atau
difoto. Lokasinya ada di alam kepala-kepala, atau dengan kata lain perkataan,
dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan
itu hidup.
Wujud
kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan
berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun
ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat,
maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita
sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud
ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik yang berupa seluruh hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka
sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan difoto.[7]
[1] Syarif
Moeis, “Religi Sebagai Salah Satu Identitas Budaya”, <http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf>, [04/05/2015]
[2] Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung:
Binatjipta, 1967, hlm. 173-174.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009, hlm. 165.
[4] “Unsur-Unsur
Kebudayaan”, <http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_antropologi/bab3-unsur-unsur_kebudayaan.pdf>,
[04/05/2015]
[5] Syarif
Moeis, Loc.Cit.
[6] “Unsur-Unsur
Kebudayaan”, <http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_antropologi/bab3-unsur-unsur_kebudayaan.pdf>,
[04/05/2015]
[7] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan,
Jakarta: PT Gramedia, 1974, hlm 15-16.
No comments:
Post a Comment