Wednesday 20 May 2015

Bunga Bank dan Riba

Dalam bahasa Arab, bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata faedah, artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank. Apapun namanya, bunga atau fawaid tetap harus dilihat hakikatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari utang-piutang, senyatanya itu adalah riba.[1]
Ada tiga macam bunga, yaitu bunga flat, bunga efektif, dan bunga anuitas. Bunga flat cenderung digunakan pada kredit konsumen misalnya KPM (Kredit Pemilikan Mobil). Kelebihan dari tingkat bunga flat ialah jika sebelum jangka waktu kredit habis angsuran ingin dilunasi, maka kita hanya menghitung saja berapa sisa pokok hutang yang belum dibayar, sehingga akan terasa bahwa kredit yang kita angsur sebanding dengan sisa pokok hutang yang ada. Namun, hal ini juga menjadi kelemahan karena bank akan memberikan penalti apabila terjadi pelunasan di awal, maka berpikirlah lagi untuk mengambil kredit dengan tingkat bunga flat ini. Berbeda dengan bunga flat, penentuan bunga efektif didasarkan pada saldo pokok hutang bulan sebelumnya, sehingga nilai bunga pun semakin kecil seiring dengan saldo pokok hutang yang semakin kecil. Biasanya digunakan pada produk kredit jangka panjang, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Kelebihan dari tingkat bunga ini ialah penetapan bunga disesuaikan dengan saldo pokok hutang bulan sebelumnya, sehingga semakin lama semakin kecil nilainya dan bagi pihak kreditur tidak akan memberikan penalti karena di awal angsuran pihak kreditur telah mendapatkan bunga yang besar. Bunga anuitas prinsipnya sama seperti bunga efektif namun yang berbeda ialah angsuran bulanan yang akan tetap sama setiap bulannya.[2]
Islam telah melarang segala bentuk riba, karenanya riba harus dihapuskan dalam ekonomi Islam. Pelanggaran riba secara tegas ini dapat dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Arti riba secara bahasa adalah ziadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak, dan bertambah, akan tetapi tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikategorikan sebagai riba. Secara fiqh, riba diartikan sebagai setiap tambahan dari harta pokok yang bukan merupakan kompensasi, hasil usaha atau hadiah. Namun, pengertian riba secara teknis adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, baik dalam utang-piutang maupun jual beli. Batil dalam hal ini adalah perbuatan ketidakadilan (dzalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil akan menimbulkan kedzaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian, esensi dari pelanggaran riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi.
Dengan pengertian di atas, maka penghapusan riba ekonomi Islam dapat dimaknai secara sempit maupun secara luas. Secara sempit, penghapusan riba berarti penghapusan riba yang terjadi dalam utang-piutang maupun jual-beli. Jadi, dalam konteks ini bunga yang merupakan riba dalam utang-piutang secara mutlak harus dihapuskan dari perekonomian. Demikian pula berbagai bentuk transaksi jual-beli yang menimbulkan riba, misalnya transaksi-transaksi yang spekulatif tanpa pengukuran (valuation) yang jelas juga harus dilarang. Secara luas penghapusan riba dapat dimaknai sebagai penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kedzaliman atau ketidakadilan. Jika kedzaliman harus dihapus, maka implikasinya keadilan harus ditegakkan. Keduanya merupakan sebuah kausalitas yang tegas dan jelas.[3]
Ada 4 macam riba, yaitu riba nasiah, riba fadhl, riba qard, dan riba jahiliyah.[4] Riba nasiah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan,[5] yaitu apabila kreditor meminjamkan uangnya pada batas waktu tertentu dengan memungut bunga sebagai tambahan kepada modal (uang) pokoknya. Jika debitur belum mampu membayar utangnya pada saat jatuh tempo, maka kreditor bersedia memberikan tenggang waktu pembayaran kepada debitur dengan syarat ia bersedia menambah pembayaran di atas jumlah pokok yang dipinjamnya tadi selanjutnya jumlah utang akan bertambah setiap kali tenggang waktu diperpanjang.[6] Riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,[7] seperti penukaran emas murni dengan emas yang sudah bercampur, beras kualitas baik dengan beras kualitas buruk, dan sebagainya.[8] Riba qard adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang. Riba jahiliyah adalah apabila ada utang, maka pembayaran yang dilakukan melebihi dari pokoknya karena debitur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan.[9]
      Pendapat Syekh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Syariat Islam pada Fakultas Hukum di Universitas Cairo, “Hukum mengharamkan riba itu terdapat dalam Al Qur’an dan dalam sunnah Rasul. Ulama-ulama besar dari Salafus Saleh pun telah sekata mengharamkannya. Begitu pula ulama mujtahidin yang datang di belakang mereka. Abad berganti abad ijma’ tersebut berlaku seperti biasa, segenap hati orang yang mukmin rela dengan tenang menerima hukum riba itu haram; yang jengkel dan rebut hanyalah orang yang berhati keras. Yang belakangan ini terkadang dengan cara berterus terang, terkadang dengan cara mencari-cari helat, melanggar hukum tersebut.”[10] Islam telah melarang bunga dengan alasan di antaranya:
a.      Seluruh teori bunga yang menjadi alasan adanya bunga tersebut di mata hukum Islam menjadi mudlarat dan cenderung membahayakan sistem kehidupan yang ada dalam suatu negara. Hal ini salah satunya dikarenakan sikap materialistisme yang menimbulkan pemahaman imbalan yang dikaitkan dengan uang yang dipinjamkan menjadi tidak tepat diterapkan, karena uang telah dipersamakan dengan barang yang layak mendapat uang sewa atau imbalan.
b.      Teori bunga akan menghasilkan ketidakadilan khususnya bagi pihak yang menerima pinjaman, bahwa telah muncul kewajiban yang pasti dalam ketikpastian usahanya.
c.       Konsep bunga telah membawa ketidakadilan tidak saja pada skala mikro tapi juga skala yang lebih besar, yaitu nasional bahkan mungkin skala global. Rakyat yang tidak berdosa telah menanggung beban atas dampak negatif dari sistem bunga yang telah diberlakukan. Utang yang membengkak karena bunga akhirnya harus dihapuskan dan menjadi beban negara/rakyat. Bank yang telah di likuidasi yang telah merugi karena negative spread maupun kredit macet pada kenyataannya juga telah membebani negara yang pada akhirnya menjadi beban rakyat.[11]
Telah dinyatakan secara tegas tentang pelarangan riba di dalam Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa ayat yang menyatakan pelarangan terhadap riba:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah ayat 275)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah ayat 278)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandankan (pahalanya).” (QS. Ar Rum ayat 39)
Sistem riba tentu saja memberi keuntungan kepada pihak nasabah bank, karena hanya dengan menabung saja para nasabah akan mendapat tambahan uang setiap bulannya. Tetapi keuntungan yang didapatkan dari melakukan kedzaliman tentu tidak dibenarkan. Bunga yang diberikan kepada para nasabah adalah hasil dari penarikan uang bunga oleh bank kepada pada debiturnya. Dengan kata lain, bunga bank yang diterima nasabah adalah hasil dari melakukan kedzaliman kepada debitur bank.







[1] Muhammad Abduh Tuasikal, Riba Pada Bunga Bank, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-pada-bunga-bank.html, diakses pada 14 Maret 2015 pukul 17.03 WIB.
[2] Anonim, Mengenal Macam-Macam Bunga Perbankan, http://www.ciputraentrepreneurship.com/artikel-pendidikan/mengenal-macam-macam-bunga-perbankan, diakses pada 14 Maret 2015 pukul 14.57 WIB.
[3] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 70-71.
[4] Fuad Mohd Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, & Assuransi, (Bandung: PT Alma’arif, 1983), hlm. 84.
[5] Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 13.
[6] Ibid., hlm. 17.
[7] Ibid., hlm. 13.
[8] Ibid., hlm. 18.
[9] Renny Supriyatni Bachro, Sistem Bagi Hasil Dengan Mekanisme Pembagian Untung Dan Rugi, (Bandung: Unpad Press, 2010), hlm. 41.
[10] Fuad Mohd Fachruddin, Op.cit., hlm. 80.
[11] Renny Supriyatni Bachro, Op.cit., hlm. 42-44.

No comments:

Post a Comment