Dalam bahasa Arab, bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata faedah, artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan
dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar
nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan
nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan utang-piutang yang dilakukan oleh
pihak bank. Apapun namanya, bunga atau fawaid
tetap harus dilihat hakikatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari
utang-piutang, senyatanya itu adalah riba.[1]
Ada tiga macam bunga, yaitu bunga flat, bunga efektif,
dan bunga anuitas. Bunga flat cenderung digunakan pada kredit konsumen
misalnya KPM (Kredit Pemilikan Mobil). Kelebihan dari tingkat bunga flat ialah
jika sebelum jangka waktu kredit habis angsuran ingin dilunasi, maka kita hanya
menghitung saja berapa sisa pokok hutang yang belum dibayar, sehingga akan
terasa bahwa kredit yang kita angsur sebanding dengan sisa pokok hutang yang
ada. Namun, hal ini juga menjadi kelemahan karena bank akan memberikan penalti
apabila terjadi pelunasan di awal, maka berpikirlah lagi untuk mengambil kredit
dengan tingkat bunga flat ini. Berbeda dengan bunga flat, penentuan bunga
efektif didasarkan pada saldo pokok hutang bulan sebelumnya, sehingga nilai
bunga pun semakin kecil seiring dengan saldo pokok hutang yang semakin kecil.
Biasanya digunakan pada produk kredit jangka panjang, seperti Kredit Pemilikan
Rumah (KPR). Kelebihan dari tingkat bunga ini ialah penetapan bunga disesuaikan
dengan saldo pokok hutang bulan sebelumnya, sehingga semakin lama semakin kecil
nilainya dan bagi pihak kreditur tidak akan memberikan penalti karena di awal
angsuran pihak kreditur telah mendapatkan bunga yang besar. Bunga anuitas
prinsipnya sama seperti bunga efektif namun yang berbeda ialah angsuran bulanan
yang akan tetap sama setiap bulannya.[2]
Islam telah melarang segala bentuk riba, karenanya
riba harus dihapuskan dalam ekonomi Islam. Pelanggaran riba secara tegas ini
dapat dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Arti riba secara bahasa adalah ziadah
yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan, membengkak, dan bertambah, akan
tetapi tidak semua tambahan atau pertumbuhan dikategorikan sebagai riba. Secara
fiqh, riba diartikan sebagai setiap tambahan dari harta pokok yang bukan
merupakan kompensasi, hasil usaha atau hadiah. Namun, pengertian riba secara
teknis adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil,
baik dalam utang-piutang maupun jual beli. Batil dalam hal ini adalah perbuatan
ketidakadilan (dzalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan
secara batil akan menimbulkan kedzaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan
demikian, esensi dari pelanggaran riba adalah penghapusan ketidakadilan dan
penegakan keadilan dalam ekonomi.
Dengan pengertian di atas, maka penghapusan riba
ekonomi Islam dapat dimaknai secara sempit maupun secara luas. Secara sempit,
penghapusan riba berarti penghapusan riba yang terjadi dalam utang-piutang
maupun jual-beli. Jadi, dalam konteks ini bunga yang merupakan riba dalam
utang-piutang secara mutlak harus dihapuskan dari perekonomian. Demikian pula
berbagai bentuk transaksi jual-beli yang menimbulkan riba, misalnya
transaksi-transaksi yang spekulatif tanpa pengukuran (valuation) yang jelas
juga harus dilarang. Secara luas penghapusan riba dapat dimaknai sebagai
penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kedzaliman atau
ketidakadilan. Jika kedzaliman harus dihapus, maka implikasinya keadilan harus
ditegakkan. Keduanya merupakan sebuah kausalitas yang tegas dan jelas.[3]
Ada 4 macam riba, yaitu
riba nasiah, riba fadhl, riba qard, dan riba jahiliyah.[4]
Riba nasiah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan,[5]
yaitu apabila kreditor meminjamkan uangnya pada batas waktu tertentu dengan
memungut bunga sebagai tambahan kepada modal (uang) pokoknya. Jika debitur
belum mampu membayar utangnya pada saat jatuh tempo, maka kreditor bersedia
memberikan tenggang waktu pembayaran kepada debitur dengan syarat ia bersedia
menambah pembayaran di atas jumlah pokok yang dipinjamnya tadi selanjutnya
jumlah utang akan bertambah setiap kali tenggang waktu diperpanjang.[6]
Riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,[7]
seperti penukaran emas murni dengan emas yang sudah bercampur, beras kualitas
baik dengan beras kualitas buruk, dan sebagainya.[8]
Riba qard adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berutang. Riba jahiliyah adalah apabila ada utang, maka
pembayaran yang dilakukan melebihi dari pokoknya karena debitur tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditentukan.[9]
Pendapat
Syekh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Syariat Islam pada Fakultas Hukum di
Universitas Cairo, “Hukum mengharamkan riba itu terdapat dalam Al Qur’an dan
dalam sunnah Rasul. Ulama-ulama besar dari Salafus Saleh pun telah sekata
mengharamkannya. Begitu pula ulama mujtahidin yang datang di belakang mereka.
Abad berganti abad ijma’ tersebut berlaku seperti biasa, segenap hati orang
yang mukmin rela dengan tenang menerima hukum riba itu haram; yang jengkel dan
rebut hanyalah orang yang berhati keras. Yang belakangan ini terkadang dengan
cara berterus terang, terkadang dengan cara mencari-cari helat, melanggar hukum
tersebut.”[10]
Islam telah melarang bunga dengan alasan di antaranya:
a. Seluruh teori bunga yang menjadi
alasan adanya bunga tersebut di mata hukum Islam menjadi mudlarat dan cenderung
membahayakan sistem kehidupan yang ada dalam suatu negara. Hal ini salah satunya
dikarenakan sikap materialistisme yang menimbulkan pemahaman imbalan yang
dikaitkan dengan uang yang dipinjamkan menjadi tidak tepat diterapkan, karena
uang telah dipersamakan dengan barang yang layak mendapat uang sewa atau
imbalan.
b. Teori bunga akan menghasilkan
ketidakadilan khususnya bagi pihak yang menerima pinjaman, bahwa telah muncul
kewajiban yang pasti dalam ketikpastian usahanya.
c. Konsep bunga telah membawa
ketidakadilan tidak saja pada skala mikro tapi juga skala yang lebih besar,
yaitu nasional bahkan mungkin skala global. Rakyat yang tidak berdosa telah
menanggung beban atas dampak negatif dari sistem bunga yang telah diberlakukan.
Utang yang membengkak karena bunga akhirnya harus dihapuskan dan menjadi beban
negara/rakyat. Bank yang telah di likuidasi yang telah merugi karena negative spread maupun kredit macet pada
kenyataannya juga telah membebani negara yang pada akhirnya menjadi beban
rakyat.[11]
Telah dinyatakan secara
tegas tentang pelarangan riba di dalam Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa ayat
yang menyatakan pelarangan terhadap riba:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al
Baqarah ayat 275)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al
Baqarah ayat 278)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka
itulah orang-orang yang melipat gandankan (pahalanya).” (QS. Ar Rum ayat 39)
Sistem riba tentu saja
memberi keuntungan kepada pihak nasabah bank, karena hanya dengan menabung saja
para nasabah akan mendapat tambahan uang setiap bulannya. Tetapi keuntungan
yang didapatkan dari melakukan kedzaliman tentu tidak dibenarkan. Bunga yang
diberikan kepada para nasabah adalah hasil dari penarikan uang bunga oleh bank
kepada pada debiturnya. Dengan kata lain, bunga bank yang diterima nasabah
adalah hasil dari melakukan kedzaliman kepada debitur bank.
[1]
Muhammad Abduh Tuasikal, Riba Pada Bunga
Bank, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/riba-pada-bunga-bank.html,
diakses pada 14 Maret 2015 pukul 17.03 WIB.
[2] Anonim,
Mengenal Macam-Macam Bunga Perbankan,
http://www.ciputraentrepreneurship.com/artikel-pendidikan/mengenal-macam-macam-bunga-perbankan, diakses pada 14 Maret 2015 pukul 14.57 WIB.
[3]
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), hlm. 70-71.
[4]
Fuad Mohd Fachruddin, Riba Dalam Bank,
Koperasi, Perseroan, & Assuransi, (Bandung: PT Alma’arif, 1983), hlm.
84.
[5]
Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi
Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 13.
[6] Ibid., hlm. 17.
[7] Ibid., hlm. 13.
[8] Ibid., hlm. 18.
[9]
Renny Supriyatni Bachro, Sistem Bagi
Hasil Dengan Mekanisme Pembagian Untung Dan Rugi, (Bandung: Unpad Press, 2010),
hlm. 41.
[10]
Fuad Mohd Fachruddin, Op.cit., hlm.
80.
[11]
Renny Supriyatni Bachro, Op.cit.,
hlm. 42-44.
No comments:
Post a Comment