- Judul : Anak Seorang Romusha
- Penulis : A. Damhoeri
- Penerbit : Idayus Jakarta
- Tahun terbit : 1979
- Ketebalan : 49 halaman
ANAK SEORANG ROMUSHA
Rumah
tempat ia dilahirkan, sebuah gubuk. Atapnya daun kelapa yang dianyam.
Perabotannya hanya sebuah balai-balai untuk tempat tidur, tanpa kasur. Hanya
beralaskan tikar saja, itupun sudah robek-robek.
Sebuah ruangan yang lebih kecil
menjorok ke belakang, itulah dapur. Alat-alatnya cuma sebuah periuk tanah,
sebuah kuali besi, dan sudah sumbing. Beberapa perian tersandar di dinding.
Di bagian belakang pondok itu
terdapat sepetak sawah. Tidak berapa luas hanya lebih kurang 200 m2 saja. Di samping pondok ada sebidang kebun.
Dan di sudut kebun itu terdapat sebuah kuburan besar serta dua kuburan kecil.
Kuburan besar itu ialah kuburan ibunya dan kuburan kecil itu ialah kuburan
adik-adiknya.
Adiknya yang seorang laki-laki
meninggal keta berumur 10 tahun. Sesungguhnya adiknya itu seorang anak yang
lucu, rajin bekerja membantu ibu dan ayahnya.
Ia menoleh ke pondok dan menoleh
pula ke dalam kenangan hidupnya. Karena tekanan hidup, ia serba bisa.
Ia tak pernah bersekolah, karena
sekolah sangat jauh letaknya. Ia juga tak punya pikiran untuk pergi ke sekolah.
Anak-anak sekolah dilihatnya memakai pakaian sederhana, ia sendiri hanya
memakai pakaian dari kulit tarok.
Alangkah gembiranya hati anak itu,
kain-kain akan datang. Semua rakyat akan berbaju baru, bercelana baru. Kemakmuran
rakyat akan datang, tentu ia akan dapat bersekolah.
Perut anak-anak mulai buncit karena
terlalu banyak makan ubi. Dan banyak pula penduduk yang cacingan.
Penyakit pun mulai merajalela.
Anak-anak banyak yang mati. Seorang adiknya juga jatuh sakit, obat tak ada.
Makanan serba kurang. Dan tubuhnya semakin kurus, akan tetapi perutnya semakin
besar. Mungkin ribuan cacing hidup di dalamnya. Adiknya itupun meninggal dan
dikuburkan di pojok kebun, berjejer dengan kuburan lain.
Namun kesengsaraan hidup belum
berhenti, malahan semakin memuncak. Pada suatu hari ayahnya terpanggil ke
Kantor Kepala Negeri. Anak itu ikut mengantarkan ayahnya ke kantor. Dia
menyangka tentu ada pembagian dari Jepang yang “baik hati” itu.
Di sana ada seorang Jepang, kata temannya tuan
itu Bunsyo (bupati pada zaman sekarang). Ada
juga beberapa orang Jepang lainnya dan seorang bangsa lain.
Penduduk kampong yang datang semua
berkumpul dalam panas terik sambil menggaruk-garuk, maklum celana goni itu
banyak sekali kutunya. Barangkali ada beratus-ratus ekor.
Bunsyo mulai berpidato, tak
seorangpun mengerti yang diucapkannya. Namun ada satu orang penerjemah, katanya
:
“Bangsa Jepang sama-sama dengan
bangsa Indonesia.
Bangsa Jepang ingin membangun untuk Asia Raya. Bangsa penjajah harus dimusnahkan
dari bumi Asia. Kemakmuran Asia akan datang
dengan bantuan Nippong.”
Kemudian, ayah dengan kawan-kawannya
akan dibawa ke suatu tempat. Kabarnya di sana
Jepang sedang membuat jalan kereta api. Tenaga buruhnya dikumpulkan dari
penduduk kampung, namanya “romusha”.
Alangkah sedihnya ia melihat ayahnya
berangkat. Mereka dinaikkan ke dalam truk besar dengan bungkusan kain bagornya,
cangkul, dan linggis.
Maka tinggallah anak itu dengan
ibunya dan seorang adik laki-lakinya. Mereka harus berjuang keras untuk
mempertahankan hidup. Anak itu bekerja mengambil upah memanjat kelapa.
Tak pernah ia tertawa, sebab tak ada
yang bisa ditertawakan, tak ada yang lucu. Dan tidak pula menangis, karena
sudah kenyang menangis. Air mata sudah kering.
Kesengsaraan ! Penderitaan ! Itu
yang ada dalam pondoknya dan dimana-mana. Tak berapa orang yang sehat hidupnya
lagi. Itulah kemakmuran “Made in Nippong”.
Ibunya tak kurang menderita.
Tubuhnya semakin kurus karena harus bekerja keras dan memikirkan nasib
anak-anak serta suaminya yang telah dibawa oleh orang Jepang.
Tak ada kabar berita tentang ayahnya
lagi. Apakah masih hidup atau sudah mati. Tetapi kawan-kawannya yang pergi
lebih dahulu ada juga yang sudah kembali ke kampung. Anak itu pergi menanyakan
tentang nasib ayahnya.
Dan bagaimana tentang nasib bangsa Indonesia ? Yang
sudah 31/2 tahun merana di bawah penjajahan Jepang.
Apakah mereka akan menunggu penjajahan yang baru ? Kembali ke bawah kekuasaan
bangsa Belanda ?
Semuanya tidak ! Bangsa Indonesia
menentukan nasibnya sendiri. Mereka memproklamasikan kemerdekaannya. Bebas dari
segala penjajahan. Bebas dari kuasa bangsa mana pun juga. Sekalipun risikonya
bukan kepalang besarnya.
Dengan segala kekuatan yang ada.
Dengan senjata sekalipun hanya berupa bambu runcing. Di mana-mana ia melihat
bendera berkibar-kibar. Ia kenal betul dengan bendera Jepang. Bendera itu
warnanya merah dan putih. Tetapi merahnya bundar di tengah-tengah yang putih.
Di mana-mana ia melihat
pemuda-pemuda sudah siap siaga. Mereka mulai berlatih, mempelajari
baris-berbaris. Belajar berperang menghantam musuh, musuh yang berani menodai
bendera Merah Putih Indonesia.
Utusan pemuka-pemuka dan pimpinan
rakyat datang. Mereka berembuk dengan kepala bangsa Jepang. Jepang yang sudah
kalah terpaksa menyerah. Menurunkan benderanya dan mengganti dengan Sang Saka
Merah Putih. Akhirnya mereka kaluar dari tempat perundingan, dan mereka berseru
dengan mengangkat tangan,” Merdeka! . . . Merdeka! . . . Merdeka! . . .
Merdeka! . . . Merdeka! . . .”
Mereka bersiap mengganti bendera
yang berkibar itu dengan bendera Sang Saka Merah Putih. Anak itu menggertapkan
gerahamnya, ia ingin meloncat ke tengah dan siap akan memanjat tiang tempat
berkibarnya bendera. Tetapi ia takut kalau-kalau ditolak.
Tapi setelah tiga kali bapak pemimpin
bertanya siapa yang sanggup memanjat, anak yang tak dikenal itu melompati pagar
dan masuk ke tengah lapangan.
Dahulu ia pernah memanjat untuk
keperluan Jepang, minum air kelapa muda. Sekarang apa salahnya ia berkorban
untuk perjuangan tanah airnya.
Semua mata tertuju kepada bocah yang
kurus kering itu. Juga mata-mata Jepang itu. Barangkali dia tak mengira bahwa
ada orang yang berani memanjat tiang bendera itu. Akan menurunkan Hinomaru-nya
dan menggantikan dengan Merah Putih.
Disentakkannya bendera Hinomaru itu.
Sekali sentak talinya putus. Dan bendera itu melayang-layang jatuh ke tanah.
Seperti juga orang-orang Jepang itu ! Jatuh dan takkan bangun-bangun lagi di
tanah airnya.
Ia mulai mengikatkan tali bendera
Merah Putih di puncak tiang bendera. Kemudian ia harus turun sedikit,
mengebatkan tali yang satu lagi. Dan tinggal yang satu lagi, itu pun dengan
segera selesai pula.
Angin bertiup agak kencang, angina
dari negerinya yang sudah merdeka. Bendera Sang Saka itu segera melambai-lambai
dengan gagahnya.
“Merdeka! . . . Merdeka! . . .
Merdeka! . . .”, teriak anak itu di puncak tiang dengan sekuat tenaga.
Anak itu tersenyum, ia merasa
gembira. Usahanya sudah berhasil. Ia sudah memenuhi kehendak bapak-bapak
pemimpin itu. Ia sudah memenuhi tuntutan tanah airnya.
Tetapi,“Dooorr . . . !”, terdengar
bahana sebuah letusan. Semua kepala berpaling, melihat dari mana asal letusan
itu datang. Juga mereka melihat kepada anak itu, kelihatan anak itu memegang
dadanya dengan tangan kanannya. Dari dada itu membesit darah merah yang segar.
Kesana lah rupanya sasaran peluru dari tembakan tadi.
Tangan kurus kering itu sejenak
masih teracung diudara. Darah juga menitik ke atas tanah menimpa bendera
Hinomaru. Tetapi tubuh kurus itu melemas. Melemas dan melemas. Dan pegangannya
terlepas. Lalu sebagai bendera Hinomaru tadi tubuh itu terjatuh ke tanah.
Seluruh dada terasa terobek. Semua
hati terasa terpukul. Gelora orang banyak tidak terkira kemarahannya lagi.
Mereka bersiap-siap akan menyerbu markas tentara Jepang. Ingin membalas
kematian anak itu.
Seorang anak yang tak diketahui namanya, dari mana datangnya. Seorang
pahlawan kecil yang tidak diketahui asal-usulnya. Tuhan sajalah yang Maha
Mengetahuinya.
Tetapi ia berada dalam deretan nama-nama pahlawan yang tak dikenal. Yang
ikut memperjuangkan kemerdekaan tanah air Indonesia.
Casino in the Catskills, MI - MapYRO
ReplyDeleteThe property is on 서귀포 출장안마 217 West Flamingo Rd, Suite 2003, Suite 211, 서산 출장샵 Suite 210, 광주 출장마사지 Suite 201, Suite 211, Suite 청주 출장샵 220, Suite 202, Suite 213, Suite 214 삼척 출장마사지